
Penulisan Sejarah Pemerkosaan Massal 1998: Antara Pandangan Fadli Zon dan Para Sejarawan
Sorendiweri – sejarah pemerkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998, yang melibatkan etnis Tionghoa. Peristiwa ini, yang terjadi di tengah kerusuhan sosial dan politik menjelang jatuhnya Orde Baru, hingga kini masih menyisakan luka mendalam dan perbedaan pandangan tentang bagaimana seharusnya sejarah ini ditulis.
Menanggapi hal ini, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan pandangannya yang kontroversial mengenai sifat “massal” dari peristiwa pemerkosaan tersebut. Fadli Zon menolak penggunaan istilah “massal” yang sering dikaitkan dengan peristiwa itu, dengan alasan bahwa istilah tersebut belum ditemukan bukti yang konklusif. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan, bagaimana para sejarawan dan ilmuwan sosial yang tengah mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia akan menyikapi peristiwa ini dalam karya mereka?
Menyikapi Pemerkosaan Massal dalam Penulisan Sejarah
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, yang didanai oleh Kementerian Kebudayaan RI dengan anggaran sebesar Rp 9 miliar, melibatkan banyak pihak, mulai dari sejarawan, arkeolog, hingga ilmuwan sosial. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk memberikan perspektif yang lebih objektif dan komprehensif mengenai perjalanan sejarah Indonesia. Proyek ini sudah mencapai tahap 90 persen, namun tantangan terbesar terletak pada penulisan tentang periode Reformasi, khususnya mengenai kerusuhan Mei 1998.
Profesor Singgih Tri Sulistiyono, editor umum penulisan sejarah ini, menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana peristiwa pemerkosaan massal ini harus ditulis. Singgih memahami bahwa istilah “massal” yang digunakan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) terkait pemerkosaan di Mei 1998 masih menjadi perdebatan. Fadli Zon, dalam hal ini, lebih berhati-hati dengan menyatakan bahwa istilah tersebut belum sepenuhnya dapat dibuktikan secara konklusif.
Dalam konteks ini, Singgih menekankan pentingnya objektivitas dalam penulisan sejarah, yang tentu tidak lepas dari pengaruh validitas sumber yang digunakan. Sejarawan, menurutnya, harus mengutamakan sumber yang otentik dan kredibel. Dengan demikian, tim penulis ulang sejarah Indonesia perlu menggali lebih dalam tentang peristiwa tersebut melalui berbagai sumber yang ada, baik yang berasal dari saksi mata, laporan resmi, maupun riset akademis yang dapat memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai tragedi tersebut.
Menghindari Kontroversi dalam Penulisan Sejarah
Salah satu tantangan terbesar dalam penulisan sejarah Indonesia adalah menjaga keseimbangan antara fakta dan kepentingan nasional. Fadli Zon, sebagai Menteri Kebudayaan, menyampaikan bahwa penulisan sejarah jangan sampai justru menjadi alat untuk memecah belah bangsa. Sebaliknya, penulisan sejarah harus dapat mempererat kohesivitas bangsa dan menciptakan narasi yang membangun jati diri Indonesia.
Baca Juga : Klasemen F1 2019 Usai Bottas Menangi GP Australia
Menurut Singgih, menteri hanya menyampaikan pesan tersebut sebagai bagian dari konsep besar penulisan sejarah nasional. Fadli Zon menekankan bahwa sejarah harus menjadi alat pemersatu bangsa, yang dapat membantu masyarakat Indonesia memahami identitas kolektif mereka. Hal ini sangat penting, mengingat sejarah sering kali digunakan sebagai landasan untuk memahami berbagai peristiwa yang membentuk negara ini.
Perdebatan Sejarah dan Tantangan Sejarawan
Perdebatan mengenai peristiwa pemerkosaan massal 1998 menjadi cerminan dari bagaimana sejarah sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik dan sosial yang ada pada suatu waktu. Sejarawan yang mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia tentu menghadapi tantangan besar dalam menjaga objektivitas mereka. Mereka tidak hanya harus mengandalkan fakta-fakta sejarah yang ditemukan melalui riset, tetapi juga harus mempertimbangkan kepentingan nasional yang sering kali turut mewarnai penulisan sejarah.
Apakah akhirnya para sejarawan akan menulis peristiwa tersebut sebagai pemerkosaan massal atau tidak, itu masih menjadi pertanyaan terbuka. Singgih menuturkan bahwa penulisan sejarah ini masih dalam tahap diskusi dan narasi final belum dapat dipastikan. Namun, yang jelas, penulisan sejarah ini tidak hanya akan mencatatkan peristiwa sebagai bagian dari sejarah kelam bangsa, tetapi juga akan menyoroti bagaimana peristiwa tersebut berdampak pada perubahan sosial dan politik di Indonesia.
Kesimpulan
Penulisan ulang sejarah Indonesia, khususnya terkait dengan peristiwa pemerkosaan massal Mei 1998, akan terus menjadi topik yang penuh tantangan dan perdebatan. Apakah peristiwa tersebut akan ditulis sebagai pemerkosaan massal atau tidak, sangat tergantung pada hasil diskusi lebih lanjut antara para sejarawan, ilmuwan sosial, dan pihak-pihak terkait. Yang pasti, penulisan sejarah ini harus mampu menyajikan fakta dengan objektivitas, serta mempertimbangkan kepentingan nasional yang lebih besar untuk menjaga persatuan dan kohesivitas bangsa Indonesia.
